• Jelajahi

    Copyright © KPK POST
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan Prowan

    Iklan

    Asta Cita dan Tanah Negara Bebas di Sumatera Utara: Reforma Agraria atau Komersialisasi Agraria?

    SRP
    13 Mei 2025, 07.38.00 WIB Last Updated 2025-05-13T14:44:40Z
    masukkan script iklan disini
    masukkan script iklan disini


    Asta Cita dan Tanah Negara Bebas di Sumatera Utara: Reforma Agraria atau Komersialisasi Agraria?





    Medan, 13 Mei 2025 – Janji pemerintahan Prabowo Subianto dalam Asta Cita untuk mewujudkan reforma agraria dan kedaulatan atas sumber daya alam tengah diuji secara serius di Sumatera Utara. Ribuan hektare tanah negara yang berasal dari bekas Hak Guna Usaha (HGU) PTPN II justru tidak didistribusikan kepada rakyat, melainkan dialihkan kepada pengembang properti skala besar.



    Menurut data Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumut, sekitar 5.873 hektare lahan eks-HGU PTPN II yang telah habis masa konsesinya di Deli Serdang, Binjai, dan Langkat, kini dikuasai oleh perusahaan properti, termasuk grup Ciputra dan konsorsium swasta lainnya. Padahal secara hukum, lahan tersebut telah kembali menjadi tanah negara bebas dan harusnya diprioritaskan untuk masyarakat, bukan untuk komersialisasi.



    Reforma Agraria yang Menyimpang

    Merujuk Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960, khususnya Pasal 2 ayat (3), ditegaskan bahwa “semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.” Sementara Pasal 14 mengamanatkan bahwa pemerintah wajib melakukan redistribusi tanah untuk kepentingan keadilan sosial. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan terjadinya penyimpangan, di mana tanah negara dialihkan menjadi perumahan elite dan kawasan komersial.



    Komisioner Komnas HAM dalam laporan tahun 2022 menegaskan telah terjadi pelanggaran hak ekonomi dan sosial di berbagai wilayah eks-HGU PTPN II, terutama di Percut Sei Tuan dan Tanjung Morawa, di mana komunitas tani mengalami penggusuran tanpa penyelesaian yang adil.



    Tanah Ulayat dan Hak Masyarakat Adat Terabaikan



    Penting untuk dicatat bahwa selain petani, banyak lahan eks-HGU tersebut berada di atas wilayah adat yang diakui secara historis oleh komunitas lokal. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 telah menegaskan bahwa tanah ulayat masyarakat adat bukanlah tanah negara. Namun dalam praktiknya, negara sering mengabaikan pengakuan ini dalam penataan ulang lahan eks-HGU.



    Dalam konteks ini, tanah ulayat yang tidak dikembalikan kepada masyarakat adat berpotensi menjadi pelanggaran terhadap prinsip hak konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.”



    Kritik Akademis dan Etis

    Prof. A.P. Parlindungan Lubis, SH, dalam tulisannya menyebut bahwa “tanah negara bebas adalah warisan publik yang harus ditata demi keadilan sosial, bukan untuk diperdagangkan.” Gagasan ini diperkuat oleh teori kuasa Michel Foucault yang menekankan bahwa penguasaan ruang (tanah) merupakan cermin dari struktur kekuasaan yang berlaku. Ketika negara menyerahkan tanah kepada korporasi alih-alih rakyat, maka negara kehilangan posisi sebagai pelindung keadilan sosial.



    Rekomendasi dan Tuntutan

    Mengingat seriusnya deviasi kebijakan agraria di Sumatera Utara, maka kami menyampaikan rekomendasi berikut:

    1. Redistribusi Tanah Eks-HGU kepada Rakyat: Pemerintah wajib memastikan lahan eks-HGU dialokasikan kepada petani, buruh tani, masyarakat adat, dan eks pekerja perkebunan secara adil, legal, dan transparan.

    2. Hentikan Komersialisasi Tanah Negara: Moratorium pemberian izin pengembangan properti di atas tanah negara eks-HGU harus diberlakukan hingga proses evaluasi redistribusi selesai.

    3. Bentuk Komisi Reforma Agraria Independen: Lembaga ini harus melibatkan masyarakat sipil, akademisi, organisasi tani, dan tokoh adat untuk memastikan pelaksanaan reforma agraria sesuai UUPA 1960 dan prinsip keadilan.

    4. Kembalikan Tanah Ulayat: Pemerintah harus mengakui dan mengembalikan tanah adat yang pernah dikonversi menjadi HGU, sesuai Putusan MK No. 35/2012 dan prinsip konstitusional.



    Jika negara gagal menjalankan prinsip dasar agraria nasional, maka Asta Cita hanya akan menjadi slogan kosong. Tanah adalah hak dasar, ruang hidup, dan identitas rakyat. Saat tanah dikuasai oleh segelintir elite, maka demokrasi ekonomi kehilangan maknanya.


    Liputan: TIM


    Komentar

    Tampilkan

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

    Terkini